Andai saja Panembahan Senopati di Mataram (Kotagede) tidak memerintahkan abdi dalem kriya membuat perhiasan dari emas dan perak, mungkin saja Kotagede tidak akan pernah mendapat julukan sebagai Kota Perak. Andai kata pihak keraton Yogyakarta, terutama pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII, tidak terpikat dengan hasil kerajinan logam berciri tradisional hasil sentuhan tangan abdi dalem kriya Kotagede, mungkin kilap perak sudah lama terbenam di antara rumah joglo (lambang kejayaan kekuasaan tradisional Jawa) dan rumah loji (dengan ciri seni bangunan Eropa sebagai lambang kejayaan para pedagang atau pengusaha pribumi yang berhasil).
Argentum (Latin), itulah asal kata perak, sehingga dalam ilmu kimia, perak ditandai dengan lambang Ag (dengan nomor atom 47). Perak dimanfaatkan untuk membuat uang logam, perhiasan, sendok garpu, bahkan menyeruak dalam pembuatan bantalan mesin pesawat terbang. Di Indonesia, kerajinan perak berkembang pesat di Kotagede. Menurut catatan Djoko Soekiman, sudah sejak abad ke-16 (masa kerajaan Mataram Islam), Kotagede muncul sebagai pusat perdagangan yang cukup maju; hal ini setidaknya ditandai dengan sebutan lain untuk kota ini, yaitu Pasar Gede yang dapat diartikan sebagai ‘pasar besar’ (pusat perdagangan yang besar). Selain itu, sebagai pusat perdagangan barang-barang kerajinan, nama-nama wilayah di Kotagede pun berkaitan erat dengan nama usaha kerajinan yang ada: Samakan (tempat tinggal para pengrajin kulit), Sayangan (tempat tinggal para pengrajin barang dari tembaga dan perunggu), Batikan (tempat tinggal para pengrajin batik), dan Pandean (tempat tinggal para pengrajin besi) dan sebagainya.
Munculnya kerajinan perak di Kotagede bersamaan dengan berdirinya Kotagede sebagai ibu kota Mataram Islam pada abad ke-16. Ada bukti yang menunjukkan bahwa seni kerajinan perak, emas, dan logam pada umumnya telah dikenal sejak abad ke-9 (zaman Mataram Kuna/Hindu) dengan diketemukannya prasasti di Jawa Tengah yang di dalamnya termuat istilah pande emas, pande perak, pande wesi, dan sebagainya. Perkembangan perusahaan perak Kotagede mengalami masa keemasan antara tahun 1930—1940-an dengan munculnya perusahan-perusahaan baru, peningkatan kualitas, dan diciptakannya berbagai motif baru.
Industri perak mulai berkembang dan merambah pasaran dunia ketika Kotagede kedatangan seorang pedagang bangsa Belanda yang memesan barang-barang keperluan rumah tangga Eropa dengan bahan perak. Barang-barang tersebut berupa tempat lilin, perabotan makan minum, piala, asbak, tempat serbet, dan perhiasan dengan gaya Eropa ber motif khas Yogyakarta didominasi bentuk daun-daun, bunga, dan lung (sulur). Ternyata pesanan itu diminati orang-orang Eropa. Sejak saat itu berbagai order berdatangan dengan jumlah yang terus melambung. Untuk menjaga dan meningkatkan kualitas, pemerintah Hindia Belanda mendirikan satu lembaga khusus, yaitu Stichting Beverdering van het Yogyakarta Kenst Ambacht (disebut juga Pakaryan Ngayogyakarta). Lembaga ini memberikan pelatihan tentang teknik pembuatan kerajinan perak dan pengembangan akses pasar. Kegiatannya antara lain mengikuti Pekan Raya di Jepang tahun 1937 dan di Amerika tahun 1938.
Perlu dicatat bahwa tumbuhnya perusahaan perak diawali dengan adanya pakaryan perak. Istilah pakaryan perak dimaksudkan sebagai usaha membuat barang-barang seni dari perak. Semula, barang-barang tersebut dibuat tidak untuk diperdagangkan apalagi memperoleh profit secara besar-besaran, tetapi sekedar untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Usaha pakaryan perak ujung-ujungnya mengalami perkembangan dengan adanya organisasi dan spesialisasi berupa perusahaan perak. Meskipun begitu, perak Kotagede masih dikerjakan dengan cara yang sama, yaitu sebagai suatu bentuk kerajinan yang menuntut keterampilan tangan.
Setelah mengalami pasang surut, industri perak Kotagede tetap tak lapuk oleh hujan tak lekang oleh panas. Saat ini, memasuki wilayah Kotagede berarti kita siap disergap puluhan art shop perak yang terserak di kanan-kiri jalan. Di Kotagede, wisatawan tidak sekedar dapat memilih dan membeli souvenir, tetapi bisa menyaksikan proses pembuatannya. Proses produksinya diawali dengan peleburan perak murni berbentuk kristal, dicampur dengan tembaga. Kadar perak standar adalah 92,5%. Perak yang dilebur dan berbentuk cair dicetak untuk mendapatkan bentuk yang mendekati bentuk yang diinginkan, misalnya bakalan bentuk teko atau bakalan bentuk cincin. Proses kedua ini disebut singen atau disingekake (dicetak). Proses berikutnya ialah mengondel, yaitu memukul-mukul hasil cetakan untuk mendapatkan bentuk yang sesuai. Proses mengondel memerlukan tingkat ketrampilan tersendiri. Sesudah memiliki bentuk yang bagus kemudian diukir guna mendapatkan motif yang diinginkan. Proses ini memerlukan tingkat keahlian sangat tinggi. Setelah diukir baru dirakit, misalnya teko dipasangi gagang berbentuk belalai. Proses terakhir ialah finishing, yaitu membuat barang menjadi mengkilap dan menampakkan pamornya. Standar kualitas barang perak ialah 92,5%, jika kurang belum layak disebut silver. Standar baku ini ditetapkan untuk menjamin kualitas produk. Sedangkan harga ditentukan oleh kadar perak tiap gramnya dan tingkat kesulitan pembuatan.
Bagi Anda yang menginginkan mengetahui kadar kemurnian perak, dipersilahkan mampir ke Balai Besar Perindustrian di Jalan Kusumanegara. Jika Anda masih awam dengan perak, dapat memulai kunjungan ke art shop KP3Y (Koperasi Produksi Pengusaha Perak Yogyakarta) di kawasan Mondorakan. Di sini kita bisa mendapatkan informasi tentang standar mutu dan harga perak. Kemudian penjelajahan bisa dilanjutkan ke berbagai art shop di seluruh penjuru Kotagede sambil menikmati suasana khas sebuah kota tua nan eksotis. (Herry Mardianto).
Rabu, 15 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
wah saya tertarik neh dengan kerajinan perak.. mungki ada yang bisa kerja sama dengan saya?
silahkan mail daftar produk dan harga ke mediadesain@yahoo.com
or www.mediadesain.net
Posting Komentar