Menurut mitologi Jawa, Kanjeng Ratu Kidul merupakan tokoh yang menguasai laut di selatan pulau Jawa. Dalam beberapa cerita lisan, Ratu Kidul merupakan isteri dari semua raja yang berkuasa di keraton Mataram sebagai kesepakatan dengan Panembahan Senopati (raja pertama di keraton Mataram). Kanjeng Ratu Kidul dianggap sebagai penjelmaan dari Ratna Suwidi (putri raja Pajajaran, Prabu Mundingsari). Ia selalu menolak jika hendak dikawinkan, akhirnya diusir dari keraton dan menyendiri di gunung Kombang. Melalui tapa brata, Ratna Suwidi berharap dapat menjadi manusia yang tidak akan pernah mati. Oleh para dewa, permohonan itu dikabulkan, ia dijadikan makhluk halus penguasa laut selatan.
Tahun 1993, sekelompok penambang pasir menemukan reruntuhan candi di dusun Kedulan, Tirtomartani, kecamatan Kalasan, kabupaten Sleman. Kemudian candi yang ditemukan pada kedalaman sekitar 7 meter dari permukaan tanah tersebut dikenal sebagai Candi Kedulan dan diperkirakan terpendam oleh material dari letusan Gunung Merapi pada tahun 1006. Dari Prasasti Panangaran dan Prasasti Sumundul (berangka tahun 791 C), diperkirakan candi ini dibangun pada masa pemerintahan Sri Maharaja Rake Kayuwangi Dyah Lokapala (855-884 Masehi).Dari arca-arca yang ditemukan, diketahui bahwa candi ini merupakan candi Hindu. Candi ini terletak di tengah areal pertanian, sehingga untuk ekskavasi optimal dibutuhkan pembebasan tanah yang cukup luas.
Gua Siluman
Situs Goa Siluman merupakan bekas pesanggrahan yang dibangun oleh Hamengku Buwono II untuk tempat bertapa. Terletak di daerah Wonocatur, Sleman. Pesanggrahan merupakan komplek petilasan atau pemandian. Terdapat sebuah terowongan yang menghubungkan petilasan ini dengan sisi utara dan selatan . Banyaknya bangunan menyebabkan situs ini tak terlihat keelokannya. Di sebelah barat kompleks pemandian ini terdapat pintu gerbang yang dijaga oleh sepasang patung singa yang duduk berhadapan. Patung singa yang terbuat dari batu bata dan semen ini sudah tidak begitu utuh karena hanya tinggal punggung dan kaki belakangnya saja. Setelah pintu gerbang tersebut di sebelah kiri dan kanan ada bekas kolam yang dihiasi dengan patung burung beri.
KILAS KOTAGEDE
Setelah raja Pajang, Sultan Hadiwijaya wafat (1582), Danang Sutawijaya yang juga dikenal sebagai Raden Ngabei Loring Pasar mengangkat diri sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Senopati. Pajang kemudian menjadi bagian dari kerajaan Mataram yang berpusat di Kotagede. Panembahan Senopati menduduki tahta dan wafat pada tahun 1601. Pada masa kejayaan Mataram, yaitu pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645), barulah pusat kerajaan Mataram dipindahkan dari Kotagede ke Plered. Kotagede yang terletak sekitar 5 km ke arah Tenggara dari kota Yogyakarta merupakan salah satu peninggalan kerajaan Mataram Islam. Sayangnya, sebagai satu kawasan cagar budaya, Kotagede masih agak terbengkalai. Namun demikian, sisa-sisa peninggalan kerajaan Mataram masih dapat dijumpai. Di Kotagede terdapat makam raja Mataram tempat Panembahan Senopati dan kudanya dimakamkan. Terdapat juga makam Ki Ageng Mangir Wanabaya yang unik. Ki Ageng Mangir adalah musuh Panembahan Senopati yang dijadikan menantunya. Oleh karenanya, Ki Ageng Mangir dimakamkan dengan posisi separuh tubuh di luar kompleks makam sebagai tanda bahwa ia adalah musuh Panembahan Senopati, dan separuh lainnya berada di dalam kompleks makam sebagai pengakuan bahwa beliau adalah anggota keluarga keraton. Sekitar seratus meter dari makam ini terdapat batu yang disebut "Watu Gilang". Di batu ini terdapat lekukan sebesar dahi orang dewasa. Menurut sahibul hikayat, lekukan itu adalah bekas benturan kepala Ki Ageng Mangir yang dihempaskan oleh Panembahan Senopati waktu akan ujung (menyembah). Peninggalan lainnya berupa kolam Sumber Kemuning yang terletak di sebelah barat dinding makam. Sumber air kolam ini dibuat oleh Sunan Kalijaga yang merasa haus dan kemudian menusukan cis (senjata tajam) ke dalam tanah. Sampai saat ini bangsa asing tidak diperkenankan tinggal di wilayah Kotagede. Kenyataan ini menjadi menarik karena di berbagai penjuru Kotagede ditemukan banyak bangunan bergaya Eropa dengan tiang dan kepala tiang bergaya Korentia Romawi maupun ambang pintu dengan motif glass in lood. Di samping itu, sebagai kota lama, terdapat puluhan rumah Joglo, Limasan, dan Kampung dengan gaya Jawa asli. Beberapa rumah memiliki susunan uleng atau berpenyangga atap Bahu Danyang khas Kotagede. Inilah Kotagede: bekas kota lama yang pernah mengalami kejayaan pada masa Panembahan Senopati, tempat tinggal orang-orang kaya berkat usaha dagang yang maju; lorong-lorongnya mempunyai bentuk khusus sebagai kota lama: berbelok-belok, sempit, dengan sudut tak terduga. Deretan lorong bertembok usang kadang terputus oleh relung kecil yang kini sering dimanfaatkan sebagai lapak untuk menggelar dagangan berupa sayuran atau makanan (Herry Mardianto).
Pasar Senthir: Romantisme Orang Kepepet
Sebagai kota pelajar, Jogjakarta menjadi tujuan bagi banyak orang untuk menuntut ilmu. Populasi pelajar pendatang ini sangat besar dan bertambah terus dari waktu ke waktu. Kebanyakan dari mereka tinggal di Jogjakarta sebagai anak kost, dengan kemampuan ekonomi yang beragam. Kehadiran pasar sentir di malam hari ini menjadikan alternatif bagi mereka yang kurang mampu untuk menjual atau membeli barang (loakan atau bekas pakai). Terletak di sebelah tenggara Pasar Bringharjo, Pasar Senthir ini tetap lestari di tengah hingar-bingarnya swalayan dan mall dan menyajikan pemandangan yang khas: tawar-menawar dalam keremangan lampu senthir! Segala macam barang bisa dijumpai di Pasar ini, meskipun didominasi oleh pakaian.
Sengkalan: Kesadaran terhadap Sejarah
Sengkalan disebut juga dengan kronogram, yaitu suatu kalimat yang tersusun dari rangkaian kata-kata dan setiap kata mengandung makna nilai angka tahun yang harus dibaca dari kanan ke kiri (dari belakang ke depan). Keberadaan sengkalan di tengah masyarakat Jawa merupakan cermin kesadaran terhadap sejarah. Berdasarkan perhitungan kalender, sengkalan dibedakan menjadi suryasengkala (didasarkan pada kalender peredaran matahari—tahun syamsiah) dan candrasengkala (didasarkan kalender tahun peredaran bulan—tahun qamariah). Sengkalan tidak hanya mengandung makna angka tahun, tetapi acapkali memiliki makna yang jauh lebih dalam (berkaitan dengan filosofi kehidupan). Beberapa siklus kehidupan manusia ditandai dengan sengkalan, seperti pendirian keratin, dan penulisan babad maupun karya sastra lainnya.
Ah, Jogja....
Dangdut Alun-alun Utara
Plered: Strategi Perang Sultan Agung
Wilayah Plered merupakan sisa peninggalan keraton Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613—1645). Petilasan Plered terletak di dusun Kedhaton, Plered, Bantul. Ada beberapa versi yang menyebabkan terjadinya perpindahan ibukota pemerintahan keraton Mataram dari Kerta Kotagede ke Plered. Versi pertama menyatakan bahwa perpindahan terjadi karena pageblug (bencana). Versi kedua berpendapat bahwa perpindahan tersebut merupakan bagian dari strategi perang Sultan Agung dalam menumpas kompeni Belanda.
Teh poci Pakualaman
Berbeda dari komplek lesehan yang ada di Malioboro maupun di Alun-alun Kidul, di dalam lingkungan Pura Pakualaman terdapat sebuah warung angkringan, yang juga menyediakan tempat untuk lesehan. warung angkringan ini tepatnya terletak di tepi halaman Pura Pakualaman. Lingkungan Pura Pakualaman yang tenang dengan bangunan berarsitektur gaya Jawa menjadikan suasana moci (minum teh poci) anda menjadi berbeda dari tempat lain. Bagi anda yang suka minum teh, teh poci di Pura Pakualaman ini akan menyajikan suasana minum teh yang bernuansa khas Jogja dengan teh gula batunya dan aneka jajanan.
Candi Boko
jejak sejarah
Pantai Depok: Wuiihh…
Ada sensasi lain ketika berwisata ke Jogjakarta, yaitu wisata alam plus wisata kuliner. Datanglah ke pantai Depok yang letaknya berdampingan dengan pantai Parangtritis. Sebelum memasuki pintu gerbang pembelian tiket masuk areal Parangtritis, berbeloklah kea rah kanan. Ikuti jalan halus yang tidak begitu lebar, sampailah Anda ke pantai Depok. Puluhan layangan di angkasa akan merebut perhatian siapapun. Beberapa perahu nelayan turut meramaikan pemandangan. Bergegaslah membeli hasil laut berupa udang, ikan, kepiting di tempat pelelangan ikan yang terletak di sebelah kanan jalan menuju pantai. Bawa hasil belanjaan Anda ke warung-warung yang tersebar di tepi pantai, mintalah ke penjaga warung untuk memasakan apa-apa yang sudah kita beli (biaya memasak 10 ribu/masakan)…..dan setelah menunggu agak lama, tersajilah hidangan seafood yang hangat dan nikmat rasanya….Jangan lupa memesan es kelapa muda. Anda jangan pernah membayangkan kenyamanan seperti di Banyu Mili (Jogjakarta) atau Kampung Laut (Semarang) yang memiliki berbagai fasilitas. Di pantai Depok semua serba minimalis: kamar mandi dan tempat berbilas susah ditemukan, tempat sampah apalagi, warung-warung tampil seadanya. Tapi inilah kekhasan pantai Depok: merakyat dan seadanya. Alamak!
Mirota Batik
Di bagian selatan Malioboro, terdapat sebuah swalayan yang “Jogja banget”. Namanya Mirota Batik. Suasananya benar-benar lain. Begitu masuk, Anda akan langsung mencium aroma dupa dan kembang tujuh rupa sekaligus mendengar suara gamelan atau musik tradisional Jawa. Di Mirota Batik, Anda dapat memilih aneka pakaian bercorak batik, kaos oblong dengan falsafah hidup orang Jawa, dan berbagai kerajinan tangan yang khas. Berlama-lama di sini, rasanya seperti berbelanja di dalam sebuah “mini museum Jogja”.
Malioboro
Sate Klatak Bantul
Berwisata kuliner di Yogyakarta, tak lengkap rasanya jika tak mencicipi sate klatak di pasar Jejeran, Pleret, Bantul. Sate yang dihidangkan hanya dibakar dan dibumbui garam, memunculkan cita rasa daging kambing yang khas. Sebagai pelengkap penyedap, ada tambahan irisan kol, tomat, dan mentimun. Disebut sate klatak, karena jenis masakan ini hanya mengandalkan cita rasa dagingnya. Warung hanya buka pada malam hari dari jam 19.00 hingga jam 24.00. Satu porsi yang hanya terdiri dua tusuk, penikmat harus membayar 10 ribu rupiah dan porsi jumbo 20 ribu rupiah. Irisan daging sate klatak besar-besar dan hanya menggunakan daging-daging terbaik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar