Hal ihwal kata gudeg ada yang mengatakan bahwa itu hanya nama salah satu jenis masakan dengan bumbu dasar tumbar, bawang putih, bawang merah, kemiri, gula jawa. dan garam. Tetapi menurut cerita yang juga dapat dipercaya, nama gudeg merupakan ungkapan terima kasih seorang Belanda kepada pembantunya (orang Jawa) yang bernama Saijah. Suatu hari, sang Belanda dimasakan makanan dari bahan gori. Orang Belanda itu sangat terkesan dengan masakan Saijah sehingga pada hari yang lain ia meminta agar Saijah membuat masakan seperti yang telah disantap beberapa hari yang lalu. Saijah yang lugu kebingungan, tidak mengerti kemauan tuannya. Orang Belanda lalu mencoba mengingatkan Saijah: “Itu lho masakanmu yang good (enak)…tiga hari yang lalu dik!” Saijah lalu teringat dengan masakan gori-nya, dan karena salah dengar ia mengira tuannya memberi nama masakan itu gudeg! Jadilah good dik dikenal sebagai gudeg sampai sekarang. Belive it or not!
Gudeg Yu Djum dimulai pada tahun 1950-an, diawali dengan usaha Yu Djum berjualan rumput yang hasilnya ditabung dan kemudian dibelikan peralatan untuk berjualan gudeg. Gudeg kering menjadi pilihan karena bisa tahan sampai 24 jam. Berbagai wadah disediakan untuk tempat gudeg ini: kardus, besek, maupun kendil, yang selalu dilambari daun pisang, bukan kertas minyak atau foil tahan panas. “Daun pisang menjadikan gudeg beraroma khas,” ujar Haryani.
Proses pembuatannya diawali dengan mengolah nangka muda (gori), diberi bumbu-bumbu “standar” seperti pembuat gudeg lainnya. Hanya saja, proses memasaknya menggunakan kayu bakar. Gula yang digunakan adalah gula merah murni dari Wates atau Purworejo dan garamnya adalah garam kristal. Menurut Haryani, gudeg memang baru enak setelah melalui proses pembakaran selama 18 jam. Penyajian gudeg dilengkapi dengan sambel krecek, tahu-tempe bacem, dan cabe rawit rebus. Uniknya, meskipun bumbu tahu-tempe bacem ini sama dengan tahu-tempe bacem umumnya; tetapi rasanya berbeda ketika tahu tempe itu dihidangkan bersama gudeg. “Saya tidak tahu persis, mengapa bisa begitu,” papar Haryani dengan nada heran. Akan lebih enak lagi jika menikmati gudeg ditemani oleh krupuk tradisional atau lempeng legendar.
Gudeg Yu Djum mampu menghabiskan antara 50 sampai 150 ekor ayam dan 2.000 sampai 4.000 butir telur seharinya. Sedangkan untuk hari libur, bahkan bisa mencapai dua kali lipat. Gudeg dengan bungkus daun, dengan menu telur separo plus tahu dan daging ayam sesuwir biasa dijual dengan kisaran harga dari 1.500—4.000 rupiah; paket kardus –umumnya memakai nasi beserta lauknya– dengan harga 4.000—17.500 rupiah; paket lauk dengan bungkus besek dijual dari harga 10.000—90.000 rupiah; gudeg kendil dari 30.000—90.000 rupiah. “Kami menyediakan gudeg kering yang manis legit” jelas Haryani saat ditemui JelajahJogja di Barek.
Selain berjualan di Wijilan, Yu Djum juga melayani pembeli di Karangasem. Dibukanya rumah Yu Djum di Karangasem sebagai tempat usaha penjualan gudeg ini karena pada awalnya gudeg Yu Djum Wijilan (ketika itu masih menyewa) hanya buka dari pukul 06.00—12.00. Untuk tidak mengecewakan pelanggan, maka setelah di atas pukul 12.00, pelanggan tetap bisa mendapatkan gudeg Yu Djum di rumah Karangasem. Cara ini lama-kelamaan menjadikan gudeg Yu Djum Karangasem pun mulai dikenal orang. Di samping gudeg, dijual pula beberapa makanan tradisional, antara lain peyek Parangtritis, ampyang, dan sebagainya.
Menurut Haryani Widodo, perkembangan gudeg di Jogja dimulai dari kampung Karangasem, sebuah wilayah perkampungan yang terletak di sebelah utara gedung pusat UGM, tepatnya di utara selokan Mataram. (Herry Mardianto)
Gudeg Yu Djum dimulai pada tahun 1950-an, diawali dengan usaha Yu Djum berjualan rumput yang hasilnya ditabung dan kemudian dibelikan peralatan untuk berjualan gudeg. Gudeg kering menjadi pilihan karena bisa tahan sampai 24 jam. Berbagai wadah disediakan untuk tempat gudeg ini: kardus, besek, maupun kendil, yang selalu dilambari daun pisang, bukan kertas minyak atau foil tahan panas. “Daun pisang menjadikan gudeg beraroma khas,” ujar Haryani.
Proses pembuatannya diawali dengan mengolah nangka muda (gori), diberi bumbu-bumbu “standar” seperti pembuat gudeg lainnya. Hanya saja, proses memasaknya menggunakan kayu bakar. Gula yang digunakan adalah gula merah murni dari Wates atau Purworejo dan garamnya adalah garam kristal. Menurut Haryani, gudeg memang baru enak setelah melalui proses pembakaran selama 18 jam. Penyajian gudeg dilengkapi dengan sambel krecek, tahu-tempe bacem, dan cabe rawit rebus. Uniknya, meskipun bumbu tahu-tempe bacem ini sama dengan tahu-tempe bacem umumnya; tetapi rasanya berbeda ketika tahu tempe itu dihidangkan bersama gudeg. “Saya tidak tahu persis, mengapa bisa begitu,” papar Haryani dengan nada heran. Akan lebih enak lagi jika menikmati gudeg ditemani oleh krupuk tradisional atau lempeng legendar.
Gudeg Yu Djum mampu menghabiskan antara 50 sampai 150 ekor ayam dan 2.000 sampai 4.000 butir telur seharinya. Sedangkan untuk hari libur, bahkan bisa mencapai dua kali lipat. Gudeg dengan bungkus daun, dengan menu telur separo plus tahu dan daging ayam sesuwir biasa dijual dengan kisaran harga dari 1.500—4.000 rupiah; paket kardus –umumnya memakai nasi beserta lauknya– dengan harga 4.000—17.500 rupiah; paket lauk dengan bungkus besek dijual dari harga 10.000—90.000 rupiah; gudeg kendil dari 30.000—90.000 rupiah. “Kami menyediakan gudeg kering yang manis legit” jelas Haryani saat ditemui JelajahJogja di Barek.
Selain berjualan di Wijilan, Yu Djum juga melayani pembeli di Karangasem. Dibukanya rumah Yu Djum di Karangasem sebagai tempat usaha penjualan gudeg ini karena pada awalnya gudeg Yu Djum Wijilan (ketika itu masih menyewa) hanya buka dari pukul 06.00—12.00. Untuk tidak mengecewakan pelanggan, maka setelah di atas pukul 12.00, pelanggan tetap bisa mendapatkan gudeg Yu Djum di rumah Karangasem. Cara ini lama-kelamaan menjadikan gudeg Yu Djum Karangasem pun mulai dikenal orang. Di samping gudeg, dijual pula beberapa makanan tradisional, antara lain peyek Parangtritis, ampyang, dan sebagainya.
Menurut Haryani Widodo, perkembangan gudeg di Jogja dimulai dari kampung Karangasem, sebuah wilayah perkampungan yang terletak di sebelah utara gedung pusat UGM, tepatnya di utara selokan Mataram. (Herry Mardianto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar