Minggu, 23 November 2008

Kaos Oblong Jogja Pancen Oye!


Herry Mardianto

Konon khabarnya, etimologi kata oblong terdiri dari dua suku kata, yaitu “O” dan “blong”. “O” berarti bulat (umumnya bagian atas kaos oblong berbentuk bulat) sehingga kepala kita bisa masuk. “Blong” mengacu kepada situasi ketika rem kendaraan tidak berfungsi sebagaimana mestinya sehingga jalannya terus melaju tanpa hambatan. Jadi, oblong berarti sesuatu (kaos) yang atasnya bulat, dan ketika benda (kepala) dimasukkan, jalannya lancar, tidak ada yang mampu menghalangi....
Menurut Antariksa (2001), kaos oblong mulai dikenal pada akhir abad ke-19, semula dipakai oleh tentara Eropa sebagai pakaian dalam (di balik baju seragam) dan bisa dipakai sebagai pakaian luar jika mereka beristirahat. Istilah “T-shirt” baru muncul di Merriam-Webster's Dictionary pada tahun 1920. Pada Perang Dunia II, kaos menjadi perlengkapan standar pakaian militer di Eropa dan Amerika Serikat (T-shirt King). Kaos oblong mulai dikenal di seluruh dunia lewat John Wayne, Marlon Brando dan James Dean yang memakai pakaian dalam tersebut sebagai pakaian luar di film-film mereka. Teknologi screenprint di atas kaos katun, baru dimulai awal tahun 1960-an dan setelah itu barulah bermunculan berbagai bentuk kaos baru, seperti tank top, muscle shirt, scoop neck, v-neck dsb. Kaos oblong kemudian berkembang menjadi busana universal, tidak dibatasi oleh norma-norma lokal, bisa dipakai siapa saja, diterima di mana saja. Jadi jangan heran jika tidak ada seorang pun di Indonesia yang tidak mempunyai kaos; dari tukang becak sampai presiden semua punya kaos.
Oleh kalangan kreatif, kaos oblong dijadikan media implementasi desain untuk berbagai representasi, baik demi kepentingan pariwisata, politik, iklan, entertaiment, maupun perlawanan terhadap kemapanan. Desain yang dimaksud bukan sekedar karena ada gambarnya, tulisannya, tetapi karena apa yang termuat di dalamnya. Ketika orang memakai kaos bertuliskan: “Oposisi Mengapa Mesti Takut?”, si pemakai setidaknya seorang demonstran, ketika orang memakai kaos iklan sabun – ia marketing, kaos dengan desain lukisan Eddie Hara – lebih pas dipakai seniman. Pergeseran ini terjadi tidak sengaja; kaos yang semula hanya dipandang dari segi fungsional bergeser ke media indentifikasi atau wahana tanda, membawa pesan dalam “teks terbuka” di mana pembaca atau audience berpeluang memberi interpretasi. Di Yogyakarta, awal perkembangan kaos sebagai media tanda dan penanda tidak dapat dilepaskan dari inspirasi kreatif anak muda di bawah “bendera” Dagadu, Jaran, dan Sarapan. Ketiganya sama-sama menempatkan berbagai bentuk, gambar, atau kata-kata dalam berbagai pesan akan pengalaman, perilaku, perlawanan (bisa dimaknai apa saja), dan status sosial.
Dagadu mulai memproduksi kaos oblong sejak tahun 1994 dengan desain kontemporer dan contains-nya berkaitan dengan Jogja, everything about Djokdja: artefak, bahasa, kultur kehidupan, maupun peristiwa keseharian yang terjadi di dalamnya. Ini tidak lepas dari konteks posisioning Dagadu sebagai produsen cenderamata (menghargai orisinalitas). Meskipun begitu bukan berarti desain Dagadu adalah desain etnik, sebaliknya justru desainnya kontemporer karena market atau komunitas Dagadu adalah komunitas kontemporer. Desain-desain kaos Dagadu berkait erat dengan visi menyemarakan kota Jogja sebagai kota wisata, ingin menemukan kembali roh Jogja yang oleh sebagian pihak dirasa kian menghilang. Selebihnya, desain Dagadu selalu bersentuhan dengan fenomena sosial yang banyak disingkirkan karena dianggap rendah bagi orang lain: bagaimana tukang becak selalu dipepet (dalam desain Sleeping in My Becak: Been riding all nite just to get more money), kita tidak pernah melihat sisi romantisme tukang becak: mereka harus tidur di atas becak, terpaksa mengayuh lebih kuat untuk mendapatkan tambahan uang. Itu adalah fenomena sosial yang diangkat Dagadu dengan enteng sehingga muncul kesan kehidupan tukang becak bukan momok; kemiskinan juga bukan momok; tukang becak dan kemiskinan memang ada—keduanya bagai dua sisi mata uang tak terpisahkan. Desain lainnya mengenai Malioboro yang tidak lagi ramah (Malioboros), jalan sepotong itu berubah menjadi ajang konsumeristik, mengingatkan siapapun yang akan kesana (Malioboro) harus membawa uang berlebih karena di sana orang pasti akan “dirampok”, dipaksa menjadi konsumeristik…
Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Dagadu, desain kaos Jaran selalu menampilkan keaslian karya etnik dengan meminimalisir “pengolahan” kembali. Kepala stupa, relief beberapa candi, benda kerajinan tradisional, menjadi objek desain yang tak pernah mati. Kaos-kaos tendensius tampak dihindari Jaran karena sifatnya temporer. Desain etnik dijadikan pilihan karena dianggap bisa dipakai siapapun dan kapan pun; terasa romantis, membawa orang kepada romantisme masa lalu, dan romantisme itu diyakini sebagai suatu hal yang dicari bawah sadar setiap orang, ia hadir sebagai memorabilia. Hampir sama dengan Jaran Ethnic, Sarapan T-shirt pun memiliki desain kaos etnik. Bedanya, Jaran benar-benar pure etnik sedangkan beberapa desain produk Sarapan sengaja dikontaminasikan dengan unsur modern lewat pemunculan tokoh kartun Tintin. Di samping hadir kaos dengan tema “Djokdjakarta 1938”, “Perempatan Toegoe Djokdja 1938”, “Tamansari”, ada pula desain kaos Sarapan dengan tema “Tintin in Malioboro Jogja”, “The Adventures of Tintin on Yogya” serta “Where is Tintin”. Meskipun begitu, Sarapan setia menggali sejarah dan kebudayaan Jogja sehingga kehadiran Tintin tetap “terukur”dalam frame budaya Jogjakarta, sesuai dengan visi dan misi Sarapan yang menginginkan budaya Jogja tidak hilang; orang tidak lupa pada sejarah Ngayogyakarta Hadiningrat.
Kaos Jogja, memang beda dengan kaos Bali (Joger, Kaos Geek, Kuta Lines, Bali Art, Lombok Art) yang orientasi desainnya berkiblat ke aspek turistik; bukan lahir dari pendekatan arkeologis dan sosio-kultural. “Ah, kaos Jogja pancen oye....!” celetuk salah seorang pembeli kaos yang berdesakan di salah satu outlet di lantai dasar Malioboro Mal sambil mencermati kaos bergambar dua bunga kamboja dengan tulisan: Bali Wae neng Djokdja....
Baca selengkapnya...

Selasa, 18 November 2008

Museum Plered: Menjaga Jejak Sejarah

Di bilangan Jalan Kedaton, Plered, Bantul, Dinas Kebudayaan Yogyakarta membangun museum untuk menyimpan berbagai benda bersejarah yang ditemukan di situs Plered . Pada masa pemerintahan Amangkurat I, Plered menjadi pusat Kerajaan Mataram Islam.
Museum dibangun di lokasi ditemukannya sumur kuno (sumur gemuling) yang diyakini sebagai sumur Keraton Plered . Meskipun pembangunan museum belum sempurna, berbagai peninggalan warisan budaya tersimpan dengan baik, antara lain talam, bokor, gelang perunggu, sejumlah arca—antara lain arca Durga Mahisasura Mardini, berbagai guci keramik, dan beberapa foto situs Plered. Ada foto umpak di Kerto, struktur fondasi Masjid Mataram Plered, dan makam Gunung Kelir. Makam Gunung Kelir berkaitan dengan makam Ratu Malang, salah seorang isteri Amangkurat I.
Plered dikenal sebagai tempat ditemukannya berbagai benda peninggalan masa lalu. Desa Pungkuran I diyakini merupakan sudut beteng Keraton Plered sebelah barat daya. Dari catatan arsip Belanda, diketahui tinggi beteng Keraton Plered mencapai 5 – 6 meter, dengan ketebalan 1,5 – 2 meter. Pada saat ini bekas beteng Keraton Plered sudah sulit ditemukan. Bangunan ini dulu digunakan oleh Belanda sebagai pabrik gula dan setelah Belanda pergi, warga sekitar membongkar beteng tersebut untuk dibuat semen merah
.

Baca selengkapnya...

Minggu, 16 November 2008

MUSEUM ULLEN SENTALU



Ulating Blencong Sejatine Tataraning Lumaku

Museum Ullen Sentalu merupakan museum swasta, kehadirannya diprakarsai oleh keluarga Haryono, berada di bawah payung Yayasan Ulating Blencong. Museum Ullen Sentalu mulai dirintis pada tahun 1994 dan diresmikan pada tanggal 1 Maret 1997 oleh KGPAA Paku Alam VIII (sebagai Gubernur DIY pada waktu itu).
Museum Ullen Sentalu terletak di kawasan wisata Kaliurang (lereng Gunung Merapi), tepatnya di Taman Kaswargan dengan luas tanah 1,2 hektar. Kawasan Taman Kaswargan berada dalam suatu “historical district” tempat-tempat bersejarah: Pesanggrahan Ngeksigondo dan Wisma Kaliurang. Pesanggrahan Ngeksigondo dibangun atas perintah Sultan Hamengku Buwono VII sebagai tempat peristirahatan keluarga Kasultanan Ngayogyakarta, sedang Wisma Kaliurang pernah digunakan untuk perundingan Komisi Tiga Negara (Amerika, Australia, dan Belgia) pada masa revolusi kemerdekaan RI.
Secara filosofis, nama “Taman Kaswargan” dipilih karena lokasi taman terletak di ketinggian lereng Gunung Merapi. Masyarakat Jawa menganggap Gunung Merapi sebagai tempat sakral, dihuni para dewa. Selain itu, sejak zaman Belanda tempat ini dikenal dengan istilah “Naar Boven”— kawasan peristirahatan dengan alam sangat sejuk dan memiliki panorama yang indah.
Ullen Sentalu dirancang sebagai museum yang menghadirkan warisan-warisan budaya bersifat intangible karena beberapa warisan budaya terancam punah dan memudar; dihadirkan melalui karya-karya yang bersifat fine arts-- media seni yang dengan bebas bisa mewujudkan dan menampilkan warisan budaya intangible untuk dikomunikasikan secara tangible. Tujuan lainnya adalah mewujudkan dokumentasi karya-karya yang sebelumnya tidak terdokumentasikan, kecuali dalam bentuk literatur, khususnya pada era Mataram Islam. Museum Ullen Sentalu memiliki konsep “jendela” yang mengungkapkan proses peradaban zaman. Dari karya-karya yang ditampilkan, diharapkan mampu membuka celah untuk memasuki proses peradaban sehingga dapat menjelajah waktu dan ruang dari zaman Mataram Islam atau era Klasik.
Hingga saat ini Museum Ullen Sentalu memiliki 7 ruang, terdiri atas Guwa Selo Giri, 5 ruang di Kampung Kambang, dan Koridor Retja Landa—meliputi Ruang Seni Tari dan Gamelan (memamerkan kebesaran dan keindahan Jawa masa klasik melalui seni tari dan musik orkestra jawa, yaitu gamelan). Guwa Sela Giri (dibangun di bawah tanah berupa lorong panjang, merupakan perpaduan Sumur Gumuling Taman Sari dan gaya Gothic, memamerkan karya-karya lukis dokumentasi dari tokoh-tokoh yang mewakili figur 4 keraton dinasti Mataram yang dikemas dalam karya fine arts); Kampung Kambang (berdiri di atas kolam air dengan bagunan berupa ruang-ruang di atasnya, yaitu Ruang Tineke, Ruang Pendapa, Ruang Batik Vorstendladen, Ruang Batik Pesisiran, dan Ruang Budaya). Ruang Tineke menampilkan syair-syair dari buku kecil GRAj Koes Sapariyam, putri Sunan PB XI, Ruang Pendapa menampilkan seni berbusana para putri Mataram, Ruang Batik Vorstendlanden memajang koleksi batik dari era Sultan HB VII - Sultan HB VIII dari Keraton Yogyakarta serta Sunan PB X – Sunan PB XII dari Surakarta, Ruang Batik Pesisiran memamerkan berbagai kostum, selain dari batik ada pula bordir tangan untuk kebaya-kebaya yang dikenakan kaum peranakan mulai zaman HB VII (1870-an), Ruang Putri Dambaan memajang dokumentasi foto pribadi dari masa kanak-kanak hingga pernikahan GRAj. Siti Nurul Kusumawardhani (1921—1951); Ruang Budaya (memamerkan kekayaan dan kemegahan budaya Mataram yang tertuang dalam koleksi lukisan Bedaya Ketawang, Paes Ageng Pengantin Kasultanan Yogyakarta, raja-raja Mataram :Sultan HB IX, Sunan Paku Buwono X, Hamengku Buwana X, patung dan prasasti Sunan PB XII, patung paes ageng Yogyakarta dan Surakarta Hadiningrat. Koridor Retjo Landa (merupakan museum outdoor yang memajang arca-arca peninggalan zaman Klasik (Hindu-Budha).
Selain ruang-ruang yang sudah ada tersebut, saat ini Museum Ullen Sentalu menyiapkan ruang pamer baru, yaitu Ruang Peranakan (Indies), Ruang Miniatur Kereta, dan Ruang Prasasti.Setiap pengunjung akan mendapat suguhan minuman resep Gusti Kanjeng Ratoe Mas, permaisuri Sunan PB X, minuman spesial tersebut disajikan diakhir tour museum. Berbagai fasilitas pendukung tersedia di Ulen Sentalu, antara lain taman untuk berbagai keperluan. Bergegaslah mengamati koleksi eksotis Museum Ullen Sentalu di Jalan Boyong, Kaliurang.
Baca selengkapnya...