Herry Mardianto
Konon khabarnya, etimologi kata oblong terdiri dari dua suku kata, yaitu “O” dan “blong”. “O” berarti bulat (umumnya bagian atas kaos oblong berbentuk bulat) sehingga kepala kita bisa masuk. “Blong” mengacu kepada situasi ketika rem kendaraan tidak berfungsi sebagaimana mestinya sehingga jalannya terus melaju tanpa hambatan. Jadi, oblong berarti sesuatu (kaos) yang atasnya bulat, dan ketika benda (kepala) dimasukkan, jalannya lancar, tidak ada yang mampu menghalangi....
Menurut Antariksa (2001), kaos oblong mulai dikenal pada akhir abad ke-19, semula dipakai oleh tentara Eropa sebagai pakaian dalam (di balik baju seragam) dan bisa dipakai sebagai pakaian luar jika mereka beristirahat. Istilah “T-shirt” baru muncul di Merriam-Webster's Dictionary pada tahun 1920. Pada Perang Dunia II, kaos menjadi perlengkapan standar pakaian militer di Eropa dan Amerika Serikat (T-shirt King). Kaos oblong mulai dikenal di seluruh dunia lewat John Wayne, Marlon Brando dan James Dean yang memakai pakaian dalam tersebut sebagai pakaian luar di film-film mereka. Teknologi screenprint di atas kaos katun, baru dimulai awal tahun 1960-an dan setelah itu barulah bermunculan berbagai bentuk kaos baru, seperti tank top, muscle shirt, scoop neck, v-neck dsb. Kaos oblong kemudian berkembang menjadi busana universal, tidak dibatasi oleh norma-norma lokal, bisa dipakai siapa saja, diterima di mana saja. Jadi jangan heran jika tidak ada seorang pun di Indonesia yang tidak mempunyai kaos; dari tukang becak sampai presiden semua punya kaos.
Oleh kalangan kreatif, kaos oblong dijadikan media implementasi desain untuk berbagai representasi, baik demi kepentingan pariwisata, politik, iklan, entertaiment, maupun perlawanan terhadap kemapanan. Desain yang dimaksud bukan sekedar karena ada gambarnya, tulisannya, tetapi karena apa yang termuat di dalamnya. Ketika orang memakai kaos bertuliskan: “Oposisi Mengapa Mesti Takut?”, si pemakai setidaknya seorang demonstran, ketika orang memakai kaos iklan sabun – ia marketing, kaos dengan desain lukisan Eddie Hara – lebih pas dipakai seniman. Pergeseran ini terjadi tidak sengaja; kaos yang semula hanya dipandang dari segi fungsional bergeser ke media indentifikasi atau wahana tanda, membawa pesan dalam “teks terbuka” di mana pembaca atau audience berpeluang memberi interpretasi. Di Yogyakarta, awal perkembangan kaos sebagai media tanda dan penanda tidak dapat dilepaskan dari inspirasi kreatif anak muda di bawah “bendera” Dagadu, Jaran, dan Sarapan. Ketiganya sama-sama menempatkan berbagai bentuk, gambar, atau kata-kata dalam berbagai pesan akan pengalaman, perilaku, perlawanan (bisa dimaknai apa saja), dan status sosial.
Dagadu mulai memproduksi kaos oblong sejak tahun 1994 dengan desain kontemporer dan contains-nya berkaitan dengan Jogja, everything about Djokdja: artefak, bahasa, kultur kehidupan, maupun peristiwa keseharian yang terjadi di dalamnya. Ini tidak lepas dari konteks posisioning Dagadu sebagai produsen cenderamata (menghargai orisinalitas). Meskipun begitu bukan berarti desain Dagadu adalah desain etnik, sebaliknya justru desainnya kontemporer karena market atau komunitas Dagadu adalah komunitas kontemporer. Desain-desain kaos Dagadu berkait erat dengan visi menyemarakan kota Jogja sebagai kota wisata, ingin menemukan kembali roh Jogja yang oleh sebagian pihak dirasa kian menghilang. Selebihnya, desain Dagadu selalu bersentuhan dengan fenomena sosial yang banyak disingkirkan karena dianggap rendah bagi orang lain: bagaimana tukang becak selalu dipepet (dalam desain Sleeping in My Becak: Been riding all nite just to get more money), kita tidak pernah melihat sisi romantisme tukang becak: mereka harus tidur di atas becak, terpaksa mengayuh lebih kuat untuk mendapatkan tambahan uang. Itu adalah fenomena sosial yang diangkat Dagadu dengan enteng sehingga muncul kesan kehidupan tukang becak bukan momok; kemiskinan juga bukan momok; tukang becak dan kemiskinan memang ada—keduanya bagai dua sisi mata uang tak terpisahkan. Desain lainnya mengenai Malioboro yang tidak lagi ramah (Malioboros), jalan sepotong itu berubah menjadi ajang konsumeristik, mengingatkan siapapun yang akan kesana (Malioboro) harus membawa uang berlebih karena di sana orang pasti akan “dirampok”, dipaksa menjadi konsumeristik…
Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Dagadu, desain kaos Jaran selalu menampilkan keaslian karya etnik dengan meminimalisir “pengolahan” kembali. Kepala stupa, relief beberapa candi, benda kerajinan tradisional, menjadi objek desain yang tak pernah mati. Kaos-kaos tendensius tampak dihindari Jaran karena sifatnya temporer. Desain etnik dijadikan pilihan karena dianggap bisa dipakai siapapun dan kapan pun; terasa romantis, membawa orang kepada romantisme masa lalu, dan romantisme itu diyakini sebagai suatu hal yang dicari bawah sadar setiap orang, ia hadir sebagai memorabilia. Hampir sama dengan Jaran Ethnic, Sarapan T-shirt pun memiliki desain kaos etnik. Bedanya, Jaran benar-benar pure etnik sedangkan beberapa desain produk Sarapan sengaja dikontaminasikan dengan unsur modern lewat pemunculan tokoh kartun Tintin. Di samping hadir kaos dengan tema “Djokdjakarta 1938”, “Perempatan Toegoe Djokdja 1938”, “Tamansari”, ada pula desain kaos Sarapan dengan tema “Tintin in Malioboro Jogja”, “The Adventures of Tintin on Yogya” serta “Where is Tintin”. Meskipun begitu, Sarapan setia menggali sejarah dan kebudayaan Jogja sehingga kehadiran Tintin tetap “terukur”dalam frame budaya Jogjakarta, sesuai dengan visi dan misi Sarapan yang menginginkan budaya Jogja tidak hilang; orang tidak lupa pada sejarah Ngayogyakarta Hadiningrat.
Kaos Jogja, memang beda dengan kaos Bali (Joger, Kaos Geek, Kuta Lines, Bali Art, Lombok Art) yang orientasi desainnya berkiblat ke aspek turistik; bukan lahir dari pendekatan arkeologis dan sosio-kultural. “Ah, kaos Jogja pancen oye....!” celetuk salah seorang pembeli kaos yang berdesakan di salah satu outlet di lantai dasar Malioboro Mal sambil mencermati kaos bergambar dua bunga kamboja dengan tulisan: Bali Wae neng Djokdja....
Baca selengkapnya...
Konon khabarnya, etimologi kata oblong terdiri dari dua suku kata, yaitu “O” dan “blong”. “O” berarti bulat (umumnya bagian atas kaos oblong berbentuk bulat) sehingga kepala kita bisa masuk. “Blong” mengacu kepada situasi ketika rem kendaraan tidak berfungsi sebagaimana mestinya sehingga jalannya terus melaju tanpa hambatan. Jadi, oblong berarti sesuatu (kaos) yang atasnya bulat, dan ketika benda (kepala) dimasukkan, jalannya lancar, tidak ada yang mampu menghalangi....
Menurut Antariksa (2001), kaos oblong mulai dikenal pada akhir abad ke-19, semula dipakai oleh tentara Eropa sebagai pakaian dalam (di balik baju seragam) dan bisa dipakai sebagai pakaian luar jika mereka beristirahat. Istilah “T-shirt” baru muncul di Merriam-Webster's Dictionary pada tahun 1920. Pada Perang Dunia II, kaos menjadi perlengkapan standar pakaian militer di Eropa dan Amerika Serikat (T-shirt King). Kaos oblong mulai dikenal di seluruh dunia lewat John Wayne, Marlon Brando dan James Dean yang memakai pakaian dalam tersebut sebagai pakaian luar di film-film mereka. Teknologi screenprint di atas kaos katun, baru dimulai awal tahun 1960-an dan setelah itu barulah bermunculan berbagai bentuk kaos baru, seperti tank top, muscle shirt, scoop neck, v-neck dsb. Kaos oblong kemudian berkembang menjadi busana universal, tidak dibatasi oleh norma-norma lokal, bisa dipakai siapa saja, diterima di mana saja. Jadi jangan heran jika tidak ada seorang pun di Indonesia yang tidak mempunyai kaos; dari tukang becak sampai presiden semua punya kaos.
Oleh kalangan kreatif, kaos oblong dijadikan media implementasi desain untuk berbagai representasi, baik demi kepentingan pariwisata, politik, iklan, entertaiment, maupun perlawanan terhadap kemapanan. Desain yang dimaksud bukan sekedar karena ada gambarnya, tulisannya, tetapi karena apa yang termuat di dalamnya. Ketika orang memakai kaos bertuliskan: “Oposisi Mengapa Mesti Takut?”, si pemakai setidaknya seorang demonstran, ketika orang memakai kaos iklan sabun – ia marketing, kaos dengan desain lukisan Eddie Hara – lebih pas dipakai seniman. Pergeseran ini terjadi tidak sengaja; kaos yang semula hanya dipandang dari segi fungsional bergeser ke media indentifikasi atau wahana tanda, membawa pesan dalam “teks terbuka” di mana pembaca atau audience berpeluang memberi interpretasi. Di Yogyakarta, awal perkembangan kaos sebagai media tanda dan penanda tidak dapat dilepaskan dari inspirasi kreatif anak muda di bawah “bendera” Dagadu, Jaran, dan Sarapan. Ketiganya sama-sama menempatkan berbagai bentuk, gambar, atau kata-kata dalam berbagai pesan akan pengalaman, perilaku, perlawanan (bisa dimaknai apa saja), dan status sosial.
Dagadu mulai memproduksi kaos oblong sejak tahun 1994 dengan desain kontemporer dan contains-nya berkaitan dengan Jogja, everything about Djokdja: artefak, bahasa, kultur kehidupan, maupun peristiwa keseharian yang terjadi di dalamnya. Ini tidak lepas dari konteks posisioning Dagadu sebagai produsen cenderamata (menghargai orisinalitas). Meskipun begitu bukan berarti desain Dagadu adalah desain etnik, sebaliknya justru desainnya kontemporer karena market atau komunitas Dagadu adalah komunitas kontemporer. Desain-desain kaos Dagadu berkait erat dengan visi menyemarakan kota Jogja sebagai kota wisata, ingin menemukan kembali roh Jogja yang oleh sebagian pihak dirasa kian menghilang. Selebihnya, desain Dagadu selalu bersentuhan dengan fenomena sosial yang banyak disingkirkan karena dianggap rendah bagi orang lain: bagaimana tukang becak selalu dipepet (dalam desain Sleeping in My Becak: Been riding all nite just to get more money), kita tidak pernah melihat sisi romantisme tukang becak: mereka harus tidur di atas becak, terpaksa mengayuh lebih kuat untuk mendapatkan tambahan uang. Itu adalah fenomena sosial yang diangkat Dagadu dengan enteng sehingga muncul kesan kehidupan tukang becak bukan momok; kemiskinan juga bukan momok; tukang becak dan kemiskinan memang ada—keduanya bagai dua sisi mata uang tak terpisahkan. Desain lainnya mengenai Malioboro yang tidak lagi ramah (Malioboros), jalan sepotong itu berubah menjadi ajang konsumeristik, mengingatkan siapapun yang akan kesana (Malioboro) harus membawa uang berlebih karena di sana orang pasti akan “dirampok”, dipaksa menjadi konsumeristik…
Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Dagadu, desain kaos Jaran selalu menampilkan keaslian karya etnik dengan meminimalisir “pengolahan” kembali. Kepala stupa, relief beberapa candi, benda kerajinan tradisional, menjadi objek desain yang tak pernah mati. Kaos-kaos tendensius tampak dihindari Jaran karena sifatnya temporer. Desain etnik dijadikan pilihan karena dianggap bisa dipakai siapapun dan kapan pun; terasa romantis, membawa orang kepada romantisme masa lalu, dan romantisme itu diyakini sebagai suatu hal yang dicari bawah sadar setiap orang, ia hadir sebagai memorabilia. Hampir sama dengan Jaran Ethnic, Sarapan T-shirt pun memiliki desain kaos etnik. Bedanya, Jaran benar-benar pure etnik sedangkan beberapa desain produk Sarapan sengaja dikontaminasikan dengan unsur modern lewat pemunculan tokoh kartun Tintin. Di samping hadir kaos dengan tema “Djokdjakarta 1938”, “Perempatan Toegoe Djokdja 1938”, “Tamansari”, ada pula desain kaos Sarapan dengan tema “Tintin in Malioboro Jogja”, “The Adventures of Tintin on Yogya” serta “Where is Tintin”. Meskipun begitu, Sarapan setia menggali sejarah dan kebudayaan Jogja sehingga kehadiran Tintin tetap “terukur”dalam frame budaya Jogjakarta, sesuai dengan visi dan misi Sarapan yang menginginkan budaya Jogja tidak hilang; orang tidak lupa pada sejarah Ngayogyakarta Hadiningrat.
Kaos Jogja, memang beda dengan kaos Bali (Joger, Kaos Geek, Kuta Lines, Bali Art, Lombok Art) yang orientasi desainnya berkiblat ke aspek turistik; bukan lahir dari pendekatan arkeologis dan sosio-kultural. “Ah, kaos Jogja pancen oye....!” celetuk salah seorang pembeli kaos yang berdesakan di salah satu outlet di lantai dasar Malioboro Mal sambil mencermati kaos bergambar dua bunga kamboja dengan tulisan: Bali Wae neng Djokdja....