Rabu, 15 Oktober 2008

PERAK KOTAGEDE

Andai saja Panembahan Senopati di Mataram (Kotagede) tidak memerintahkan abdi dalem kriya membuat perhiasan dari emas dan perak, mungkin saja Kotagede tidak akan pernah mendapat julukan sebagai Kota Perak. Andai kata pihak keraton Yogyakarta, terutama pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII, tidak terpikat dengan hasil kerajinan logam berciri tradisional hasil sentuhan tangan abdi dalem kriya Kotagede, mungkin kilap perak sudah lama terbenam di antara rumah joglo (lambang kejayaan kekuasaan tradisional Jawa) dan rumah loji (dengan ciri seni bangunan Eropa sebagai lambang kejayaan para pedagang atau pengusaha pribumi yang berhasil).

Argentum (Latin), itulah asal kata perak, sehingga dalam ilmu kimia, perak ditandai dengan lambang Ag (dengan nomor atom 47). Perak dimanfaatkan untuk membuat uang logam, perhiasan, sendok garpu, bahkan menyeruak dalam pembuatan bantalan mesin pesawat terbang. Di Indonesia, kerajinan perak berkembang pesat di Kotagede. Menurut catatan Djoko Soekiman, sudah sejak abad ke-16 (masa kerajaan Mataram Islam), Kotagede muncul sebagai pusat perdagangan yang cukup maju; hal ini setidaknya ditandai dengan sebutan lain untuk kota ini, yaitu Pasar Gede yang dapat diartikan sebagai ‘pasar besar’ (pusat perdagangan yang besar). Selain itu, sebagai pusat perdagangan barang-barang kerajinan, nama-nama wilayah di Kotagede pun berkaitan erat dengan nama usaha kerajinan yang ada: Samakan (tempat tinggal para pengrajin kulit), Sayangan (tempat tinggal para pengrajin barang dari tembaga dan perunggu), Batikan (tempat tinggal para pengrajin batik), dan Pandean (tempat tinggal para pengrajin besi) dan sebagainya.
Munculnya kerajinan perak di Kotagede bersamaan dengan berdirinya Kotagede sebagai ibu kota Mataram Islam pada abad ke-16. Ada bukti yang menunjukkan bahwa seni kerajinan perak, emas, dan logam pada umumnya telah dikenal sejak abad ke-9 (zaman Mataram Kuna/Hindu) dengan diketemukannya prasasti di Jawa Tengah yang di dalamnya termuat istilah pande emas, pande perak, pande wesi, dan sebagainya. Perkembangan perusahaan perak Kotagede mengalami masa keemasan antara tahun 1930—1940-an dengan munculnya perusahan-perusahaan baru, peningkatan kualitas, dan diciptakannya berbagai motif baru.
Industri perak mulai berkembang dan merambah pasaran dunia ketika Kotagede kedatangan seorang pedagang bangsa Belanda yang memesan barang-barang keperluan rumah tangga Eropa dengan bahan perak. Barang-barang tersebut berupa tempat lilin, perabotan makan minum, piala, asbak, tempat serbet, dan perhiasan dengan gaya Eropa ber motif khas Yogyakarta didominasi bentuk daun-daun, bunga, dan lung (sulur). Ternyata pesanan itu diminati orang-orang Eropa. Sejak saat itu berbagai order berdatangan dengan jumlah yang terus melambung. Untuk menjaga dan meningkatkan kualitas, pemerintah Hindia Belanda mendirikan satu lembaga khusus, yaitu Stichting Beverdering van het Yogyakarta Kenst Ambacht (disebut juga Pakaryan Ngayogyakarta). Lembaga ini memberikan pelatihan tentang teknik pembuatan kerajinan perak dan pengembangan akses pasar. Kegiatannya antara lain mengikuti Pekan Raya di Jepang tahun 1937 dan di Amerika tahun 1938.
Perlu dicatat bahwa tumbuhnya perusahaan perak diawali dengan adanya pakaryan perak. Istilah pakaryan perak dimaksudkan sebagai usaha membuat barang-barang seni dari perak. Semula, barang-barang tersebut dibuat tidak untuk diperdagangkan apalagi memperoleh profit secara besar-besaran, tetapi sekedar untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Usaha pakaryan perak ujung-ujungnya mengalami perkembangan dengan adanya organisasi dan spesialisasi berupa perusahaan perak. Meskipun begitu, perak Kotagede masih dikerjakan dengan cara yang sama, yaitu sebagai suatu bentuk kerajinan yang menuntut keterampilan tangan.
Setelah mengalami pasang surut, industri perak Kotagede tetap tak lapuk oleh hujan tak lekang oleh panas. Saat ini, memasuki wilayah Kotagede berarti kita siap disergap puluhan art shop perak yang terserak di kanan-kiri jalan. Di Kotagede, wisatawan tidak sekedar dapat memilih dan membeli souvenir, tetapi bisa menyaksikan proses pembuatannya. Proses produksinya diawali dengan peleburan perak murni berbentuk kristal, dicampur dengan tembaga. Kadar perak standar adalah 92,5%. Perak yang dilebur dan berbentuk cair dicetak untuk mendapatkan bentuk yang mendekati bentuk yang diinginkan, misalnya bakalan bentuk teko atau bakalan bentuk cincin. Proses kedua ini disebut singen atau disingekake (dicetak). Proses berikutnya ialah mengondel, yaitu memukul-mukul hasil cetakan untuk mendapatkan bentuk yang sesuai. Proses mengondel memerlukan tingkat ketrampilan tersendiri. Sesudah memiliki bentuk yang bagus kemudian diukir guna mendapatkan motif yang diinginkan. Proses ini memerlukan tingkat keahlian sangat tinggi. Setelah diukir baru dirakit, misalnya teko dipasangi gagang berbentuk belalai. Proses terakhir ialah finishing, yaitu membuat barang menjadi mengkilap dan menampakkan pamornya. Standar kualitas barang perak ialah 92,5%, jika kurang belum layak disebut silver. Standar baku ini ditetapkan untuk menjamin kualitas produk. Sedangkan harga ditentukan oleh kadar perak tiap gramnya dan tingkat kesulitan pembuatan.
Bagi Anda yang menginginkan mengetahui kadar kemurnian perak, dipersilahkan mampir ke Balai Besar Perindustrian di Jalan Kusumanegara. Jika Anda masih awam dengan perak, dapat memulai kunjungan ke art shop KP3Y (Koperasi Produksi Pengusaha Perak Yogyakarta) di kawasan Mondorakan. Di sini kita bisa mendapatkan informasi tentang standar mutu dan harga perak. Kemudian penjelajahan bisa dilanjutkan ke berbagai art shop di seluruh penjuru Kotagede sambil menikmati suasana khas sebuah kota tua nan eksotis. (Herry Mardianto). Baca selengkapnya...

Minggu, 12 Oktober 2008

Gudeg Yu Djum: Sensasi Makan Tiada Tara


Hal ihwal kata gudeg ada yang mengatakan bahwa itu hanya nama salah satu jenis masakan dengan bumbu dasar tumbar, bawang putih, bawang merah, kemiri, gula jawa. dan garam. Tetapi menurut cerita yang juga dapat dipercaya, nama gudeg merupakan ungkapan terima kasih seorang Belanda kepada pembantunya (orang Jawa) yang bernama Saijah. Suatu hari, sang Belanda dimasakan makanan dari bahan gori. Orang Belanda itu sangat terkesan dengan masakan Saijah sehingga pada hari yang lain ia meminta agar Saijah membuat masakan seperti yang telah disantap beberapa hari yang lalu. Saijah yang lugu kebingungan, tidak mengerti kemauan tuannya. Orang Belanda lalu mencoba mengingatkan Saijah: “Itu lho masakanmu yang good (enak)…tiga hari yang lalu dik!” Saijah lalu teringat dengan masakan gori-nya, dan karena salah dengar ia mengira tuannya memberi nama masakan itu gudeg! Jadilah good dik dikenal sebagai gudeg sampai sekarang. Belive it or not!
Gudeg Yu Djum dimulai pada tahun 1950-an, diawali dengan usaha Yu Djum berjualan rumput yang hasilnya ditabung dan kemudian dibelikan peralatan untuk berjualan gudeg. Gudeg kering menjadi pilihan karena bisa tahan sampai 24 jam. Berbagai wadah disediakan untuk tempat gudeg ini: kardus, besek, maupun kendil, yang selalu dilambari daun pisang, bukan kertas minyak atau foil tahan panas. “Daun pisang menjadikan gudeg beraroma khas,” ujar Haryani.
Proses pembuatannya diawali dengan mengolah nangka muda (gori), diberi bumbu-bumbu “standar” seperti pembuat gudeg lainnya. Hanya saja, proses memasaknya menggunakan kayu bakar. Gula yang digunakan adalah gula merah murni dari Wates atau Purworejo dan garamnya adalah garam kristal. Menurut Haryani, gudeg memang baru enak setelah melalui proses pembakaran selama 18 jam. Penyajian gudeg dilengkapi dengan sambel krecek, tahu-tempe bacem, dan cabe rawit rebus. Uniknya, meskipun bumbu tahu-tempe bacem ini sama dengan tahu-tempe bacem umumnya; tetapi rasanya berbeda ketika tahu tempe itu dihidangkan bersama gudeg. “Saya tidak tahu persis, mengapa bisa begitu,” papar Haryani dengan nada heran. Akan lebih enak lagi jika menikmati gudeg ditemani oleh krupuk tradisional atau lempeng legendar.
Gudeg Yu Djum mampu menghabiskan antara 50 sampai 150 ekor ayam dan 2.000 sampai 4.000 butir telur seharinya. Sedangkan untuk hari libur, bahkan bisa mencapai dua kali lipat. Gudeg dengan bungkus daun, dengan menu telur separo plus tahu dan daging ayam sesuwir biasa dijual dengan kisaran harga dari 1.500—4.000 rupiah; paket kardus –umumnya memakai nasi beserta lauknya– dengan harga 4.000—17.500 rupiah; paket lauk dengan bungkus besek dijual dari harga 10.000—90.000 rupiah; gudeg kendil dari 30.000—90.000 rupiah. “Kami menyediakan gudeg kering yang manis legit” jelas Haryani saat ditemui JelajahJogja di Barek.
Selain berjualan di Wijilan, Yu Djum juga melayani pembeli di Karangasem. Dibukanya rumah Yu Djum di Karangasem sebagai tempat usaha penjualan gudeg ini karena pada awalnya gudeg Yu Djum Wijilan (ketika itu masih menyewa) hanya buka dari pukul 06.00—12.00. Untuk tidak mengecewakan pelanggan, maka setelah di atas pukul 12.00, pelanggan tetap bisa mendapatkan gudeg Yu Djum di rumah Karangasem. Cara ini lama-kelamaan menjadikan gudeg Yu Djum Karangasem pun mulai dikenal orang. Di samping gudeg, dijual pula beberapa makanan tradisional, antara lain peyek Parangtritis, ampyang, dan sebagainya.
Menurut Haryani Widodo, perkembangan gudeg di Jogja dimulai dari kampung Karangasem, sebuah wilayah perkampungan yang terletak di sebelah utara gedung pusat UGM, tepatnya di utara selokan Mataram. (Herry Mardianto)
Baca selengkapnya...

Kanjeng Ratu Kidul, Penguasa Laut Selatan

Menurut mitologi Jawa, Kanjeng Ratu Kidul merupakan tokoh yang menguasai laut di selatan pulau Jawa. Dalam beberapa cerita lisan, Ratu Kidul merupakan isteri dari semua raja yang berkuasa di keraton Mataram sebagai kesepakatan dengan Panembahan Senopati (raja pertama di keraton Mataram). Kanjeng Ratu Kidul dianggap sebagai penjelmaan dari Ratna Suwidi (putri raja Pajajaran, Prabu Mundingsari). Ia selalu menolak jika hendak dikawinkan, akhirnya diusir dari keraton dan menyendiri di gunung Kombang. Melalui tapa brata, Ratna Suwidi berharap dapat menjadi manusia yang tidak akan pernah mati. Oleh para dewa, permohonan itu dikabulkan, ia dijadikan makhluk halus penguasa laut selatan. Baca selengkapnya...

Loro Jonggrang: Antara Kecantikan dan Kutukan

Dalam sebuah mitos tersohorlah gadis cantik nan jangkung (jonggrang). Kulitnya putih sempurna bak pualam dengan mahkota rambut hitam tergerai. Sorot pandang matanya tajam menikam. Aura dari tubuhnya adalah sensasi lukisan hasrat dari setiap lelaki yang memandangnya. Dengan segenap kesempurnaan ia hadir sebagai wanita dengan harga diri yang tak mudah terkoyak, tak mudah ditakhlukkan oleh kesaktian Bandung Bondowoso. Ia adalah sosok jelita Loro Jonggrang. Kematian ayahnya di tangan Bandung Bondowoso melahirkan tumpukan dendam tak berkesudahan. Ditolaknya cinta Bandung Bondowoso meski harus menerima kutukan menjadi patung batu sekalipun.
Begitulah mitos dibalik cerita terjadinya candi Prambanan (dikenal pula sebagai candi Shiwa atau candi Loro Jonggrang) yang terletak hanya beberapa ratus meter di sisi utara jalan raya Jogja—Solo, kira-kira di bilangan 17 kilometer arah timur dari kota Jogjakarta. Candi Prambanan didirikan oleh raja Mataram bernama Rakai Pikatan (dari dinasti Sanjaya) pada tahun 856 Masehi. Bangunan candi bercorak Hindu, terdiri atas halaman pusat, halaman tengah, dan halaman luar. Bilik utama dari candi induk ditempati oleh Dewa Shiwa sebagai Mahadewa sehingga tidak salah jika anda menyebut candi Prambanan sebagai candi Shiwa. Bilik candi induk menghadap ke arah utara, berisi patung Dewi Durga, permaisuri Dewa Shiwa, dikenal pula sebagai patung Roro Jonggrang. Menurut legenda, patung itu sebelumnya adalah sosok hidup Roro Jonggrang yang dikutuk oleh Bandung Bondowoso (pangeran perkasa buruk rupa) untuk menyempurnakan kesanggupannya menciptakan seribu patung dalam waktu satu malam. Candi lain yang terdapat dalam kompleks candi Prambanan adalah candi Brahma, candi Wisnu, di samping beberapa patung seperti Nandi (lembu – kendaraan Dewa Shiwa), angsa (kendaraan Dewa Brahma) dan garuda (kendaraan Dewa Wisnu).
Candi yang kini berdiri megah menantang langit itu pada awalnya merupakan reruntuhan bebatuan andesit di antara semak belukar yang ditemukan oleh seorang Belanda bernama C.A. Lons pada tahun 1733 Masehi. Kini bangunan berbentuk gunungan itu merupakan objek wisata yang dapat anda kunjungi setiap hari. Anda dapat mencapai kompleks candi Prambanan dengan kendaraan umum dari Jogjakarta menuju arah Solo. Baca selengkapnya...

Sarkem


Adalah nama populer dari Pasar Kembang. Terletak di sebelah selatan Stasiun Tugu. Sarkem menyajikan keramaian “terselubung” ala Jogja. Dinamakan Pasar Kembang karena tempat ini menjadi tempat orang menjajakan “kembang” (bukan bunga lho!).
Terdapat hotel dan penginapan di sepanjang jalan dan gang-gang kecil. Hotel dan penginapan disediakan untuk tempat menginap dan beristirahat bagi siapa pun yang datang ke Jogjakarta. Letaknya berdampingan dengan jalan Malioboro sebagai pusat perdagangan kraton Jogjakarta, semula tempat penginapan memang ditujukan untuk mengembangkan perdagangan kota Jogjakarta. Hanya saja dalam perkembangannya kemudian terjadi sedikit penyimpangan dengan konsep “pengembangan” tersebut menjadi perdagangan “kembang”.
Baca selengkapnya...

Kamis, 09 Oktober 2008

Tari Bedaya



Tarian keraton yang dipentaskan dalam acara resmi oleh tujuh atau sembilan penari wanita yang belum menikah dengan irama lembut dan gerak gemulai. Koreografi tarian bedaya merupakan formasi kelompok dengan pola dasar asimetris. Jalan cerita dibacakan seorang narator (dalang) dalam bentuk prosa dan nyanyian dengan diiringi paduan suara (gerong) serta gamelan.
Baca selengkapnya...

Rabu, 08 Oktober 2008

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat


Keraton ini didirikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I , pada tahun 1755, terletak di jantung kota Jogja, tepatnya di sebelah selatan Malioboro. Dahulu, kompleks utama istana dimulai dari Gapura Gladhag di utara sampai di Plengkung Nirbaya di selatan. Kompleks ini meliputi wilayah yang cukup luas. Dari utara ke selatan, bagian-bagiannya adalah: Gapura Gladag, Pangurakan Njawi dan Pangurakan Lebet, Alun-alun Lor dan Mesjid Gedhe, Pagelaran, Siti Hinggil Lor, Kamandhungan Lor, Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul, Siti Hinggil Kidul, serta Alun-alun Kidul dan Plengkung Nirbaya. Mesjipun demikian, tidak semua bagian dibuka untuk wisatawan umum.
Baca selengkapnya...

Selasa, 07 Oktober 2008

PASAR BERINGHARJO


Berkunjung ke Jogja belum lengkap kalau tidak merasakan sensasi berbelanja di pasar Beringharjo, pasar tradisional paling legendaris karena merupakan salah satu perwujudan pilar “Catur Tunggal” (selain keraton, alun-alun utara, , dan tugu Jogja). Sebagai tempat transaksi ekonomi, pasar ini sudah digunakan sejak sekitar tahun 1800-an dan baru memiliki bangunan permanen berupa los/kios untuk transaksi jual beli pada tahun 1925. Sekarang, apapun bisa diperoleh di sini, mulai jajanan pasar, batik, bahan dasar jamu Jawa dan rempah-rempah, barang antik, onderdil motor, dan sebagainya. Bahkan di sebelah utara pasar Beringharjo yang terletak di Jalan Ahmad Yani ini Anda bisa mendapatkan koleksi uang lama (dari berbagai negara), piringan hitam dan pita kaset berisi lagu-lagu tempo doeloe, serta Anda dapat melakukan transaksi jual beli perhiasan emas.
Baca selengkapnya...